

Kita sudah sebulan penuh berjuang, menyingsingkan lengan, meninggalkan kenyamanan demi meraih ketakwaan kepada Allah ﷻ. Ramadan adalah medan perjuangan, di mana setiap Muslim melatih diri untuk menahan lapar dan dahaga, mengendalikan hawa nafsu, memperbanyak ibadah dan merasakan langsung makna ketundukan kepada Allah ﷻ.
Namun, setelah perjuangan itu, ada Idulfitri, momen kemenangan, tetapi juga waktu untuk beristirahat. Begitulah kehidupan ini. Dalam ibadah dan perjuangan menuju ketakwaan, ada masa-masa di mana kita harus memacu diri sekuat tenaga, seperti di bulan Ramadan. Namun, setelah mencapai garis akhir, ada jeda yang diperlukan agar semangat tidak memudar dan langkah tidak goyah.
Jika kita perhatikan kuda dalam sebuah perlombaan, ia justru dilarikan lebih kencang saat mendekati garis finis. Tetapi setelah itu, ia tak bisa terus dipaksa berlari. Ia butuh istirahat. Begitu pula kita. Setelah Ramadan, ada Idulfitri yang menjadi waktu untuk menata hati, mengembalikan keseimbangan diri dan merenungi langkah selanjutnya.
Namun, istirahat bukan berarti berhenti. Sebab, istirahat yang sebenarnya bukanlah melupakan ibadah dan kembali pada kelalaian, melainkan menyesuaikan ritme agar kita tetap berada di jalan yang benar.
Ketakwaan yang kita bangun selama Ramadan bukan sekadar proyek satu bulan, tetapi latihan panjang yang seharusnya membekas dalam kehidupan sehari-hari. Seorang pelari tidak kehilangan kemampuannya hanya karena berhenti sejenak setelah perlombaan. Seorang juara sejati tidak akan kehilangan semangatnya setelah meraih kemenangan. Justru, kemenangan itu menjadi titik awal bagi perjuangan yang lebih besar.
Begitu pula seorang hamba tidak boleh kehilangan ketakwaannya hanya karena Ramadan telah usai. Ramadan bukan tujuan akhir, melainkan titik tolak bagi perjalanan ketakwaan yang lebih panjang.
Kemenangan sejati bukan hanya di garis akhir Ramadan, tetapi di saat kita mampu menjaga ketakwaan itu sepanjang tahun hingga Allah ﷻ menjemput kita.
Islam adalah agama yang penuh keseimbangan dan kasih sayang. Ia tidak membebani umatnya di luar batas kemampuannya, tidak memaksa seorang hamba untuk terus beribadah tanpa henti hingga jatuh sakit atau tersiksa. Bahkan, dalam syariat Islam, ada waktu-waktu tertentu di mana seseorang tidak hanya dianjurkan untuk beristirahat dari puasa, tetapi justru diharamkan untuk berpuasa. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ
"Orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-Nya kelak."
(HR Muslim, no. 1151)
Hadis ini menggambarkan bagaimana Islam memberikan ruang bagi umatnya untuk merasakan kebahagiaan setelah menunaikan ibadah. Tidak ada ibadah yang diperintahkan secara berlebihan hingga membebani jiwa, karena Islam bukan agama yang menuntut pengorbanan di luar batas, melainkan agama yang mengajarkan keseimbangan antara ibadah, istirahat, dan kebutuhan fisik manusia.
Inilah yang sering kali disalahpahami. Ada sebagian orang yang berpikir bahwa semakin seseorang menyiksa dirinya dalam ibadah, semakin tinggi pula pahalanya. Padahal, jika seseorang memaksakan diri untuk berpuasa pada hari yang diharamkan, bukan pahala yang ia dapat, tetapi justru dosa. Seperti pada hari Idulfitri dan Iduladha, di mana puasa dilarang sebagai bentuk penghormatan terhadap hari raya dan sebagai wujud syukur kepada Allah ﷻ.
Setelah istirahat dari perjuangan panjang di bulan Ramadan, apa yang harus dilakukan seorang muslim untuk melanjutkan perjalanannya? Apakah cukup berhenti sejenak lalu kembali ke kehidupan seperti sebelumnya? Ataukah justru harus ada semangat baru untuk terus melangkah di jalan ketakwaan?
Mari kita lihat analogi perjalanan mudik. Sebagian dari kita mungkin pernah mengalami bagaimana rasanya berkendara jauh untuk pulang kampung saat Idulfitri. Sopir-sopir yang mudik, setelah menempuh perjalanan panjang, pasti merasa lelah. Apa yang mereka lakukan? Mereka berhenti di rest area untuk beristirahat. Ada yang tidur sejenak, ada yang ke toilet, ada yang minum kopi agar lebih segar. Setelah tubuh kembali bertenaga, mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih semangat dan lebih fokus. Tetapi bayangkan jika seorang sopir terlalu lama beristirahat, terlena dengan kenyamanan rest area, bahkan sampai lupa tujuan akhirnya.
Begitu pula seorang muslim setelah Idulfitri. Jangan sampai kita terlena, seakan-akan sudah selesai dan merasa cukup, padahal hidup ini masih panjang dan perjalanan menuju Allah ﷻ masih harus terus berlanjut. Allah ﷻ berfirman dalam surat Al-An’am ayat 162,
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
"Katakanlah, sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam."
(QS Al-An’am: 162)
Ayat ini menjadi pengingat bahwa seluruh aspek kehidupan seorang muslim, ibadahnya, pekerjaannya, bahkan istirahat dan tidurnya, semua itu harus berlandaskan niat karena Allah ﷻ. Ini berarti setelah Ramadan, kita tidak boleh kembali kepada kebiasaan lama yang melalaikan. Istirahat boleh, tetapi hanya sebatas mengumpulkan energi untuk kembali melangkah di jalan kebaikan.
Jangan sampai kita hanya menjadi muslim di bulan Ramadan, yang rajin ibadah hanya dalam satu bulan, lalu kembali lalai setelahnya.
Seperti halnya seorang sopir yang setelah beristirahat di rest area, ia bangkit dengan semangat baru untuk melanjutkan perjalanan, begitu pula kita setelah Idulfitri. Dengan energi yang diperbarui, dengan hati yang telah disucikan, kita harus melanjutkan perjalanan hidup ini dengan lebih kuat, lebih istiqamah, dan lebih dekat kepada Allah ﷻ. Sebab, tujuan akhir kita bukan di dunia ini, melainkan bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah.
Waktu adalah nikmat yang sering kali kita lupakan. Setiap manusia diberi jatah 24 jam dalam sehari, tetapi tidak ada yang tahu kapan waktunya akan habis. Kematian bisa datang kapan saja tanpa peringatan. Maka, bagaimana seharusnya kita menjalani hidup ini?
Rasulullah ﷺ bersabda,
اِسْتَقِيْمُوْا وَلَنْ تُحْصُوْا، وَاعْلَمُوْا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلَاةُ، وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوْءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ
"Istiqamahlah kalian, dan kalian pasti tidak akan mampu (sempurna). Ketahuilah, sesungguhnya sebaik-baik amalan kalian adalah salat. Dan tidak ada yang senantiasa menjaga wudunya melainkan seorang Mukmin."
(HR Ibnu Majah, no. 277)
Hadis ini mengajarkan bahwa istiqamah, yaitu konsisten dalam kebaikan, adalah hal yang sulit. Namun, kita tetap harus berusaha sekuat tenaga untuk melakukannya.
Bayangkan jika seseorang tahu bahwa hari ini adalah hari terakhirnya di dunia, tentu ia akan memanfaatkan setiap detiknya untuk melakukan amal terbaik. Maka, mengapa kita tidak menjalani setiap hari dengan kesadaran yang sama? Karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput, kita harus selalu siap dengan amal yang terbaik.
Setelah Ramadan berlalu, ada hal-hal yang harus kita usahakan agar ketakwaan yang telah kita bangun tidak hilang begitu saja. Jangan sampai kebiasaan baik yang sudah kita latih selama sebulan penuh lenyap setelah Idulfitri. Salah satu yang paling utama adalah mengganti puasa bagi siapa saja yang memiliki udzur di bulan Ramadan. Kewajiban ini harus diselesaikan sebelum datangnya Ramadan berikutnya, karena kita tidak pernah tahu berapa lama waktu yang masih kita miliki di dunia ini.
Selain itu, menjaga salat malam juga sangat penting. Selama Ramadan, kita terbiasa melaksanakan salat tarawih dengan penuh semangat. Setelah Ramadan, jangan biarkan kebiasaan itu hilang begitu saja. Tetaplah menjaga salat malam karena salat malam adalah sumber ketenangan jiwa, penghapus dosa, dan pengangkat derajat di sisi Allah ﷻ. Rasulullah ﷺ bersabda,
وَأفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَرِيضَةِ : صَلاَةُ اللَّيْلِ
"Dan salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam." (HR Muslim, no. 1163)
Maka, meskipun tidak lagi dalam suasana Ramadan, kita tetap harus berusaha menghidupkan malam dengan ibadah.
Melanjutkan puasa sunah juga merupakan salah satu cara untuk mempertahankan keberkahan Ramadan. Jika selama sebulan penuh kita sudah terbiasa, mengapa harus berhenti setelah Idulfitri?
Kita bisa melanjutkannya dengan puasa Syawal selama enam hari, yang pahalanya seperti berpuasa setahun penuh. Begitu pula dengan puasa Senin-Kamis yang menjadi kebiasaan Rasulullah ﷺ, serta puasa Ayyamul Bidh pada tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan Hijriah. Dengan menjaga puasa sunah, kita tidak hanya meraih pahala, tetapi juga doa yang mustajab, keberkahan sahur, serta kesempatan untuk berbagi dengan memberi buka kepada orang yang berpuasa.
Apa yang sudah kita bangun di Ramadan jangan sampai kita sia-siakan. Kita telah terbiasa bangun lebih awal untuk sahur, maka pertahankan dengan salat malam. Kita telah terbiasa menahan diri dengan berpuasa, maka lanjutkan dengan puasa sunah. Kita telah terbiasa memperbanyak doa dan sedekah, maka jangan berhenti setelah Ramadan. Jika semua ini kita jaga, insyaAllah keberkahan akan terus menyertai kita.
Jangan sampai kita seperti seseorang yang sudah beristirahat di rest area, tetapi kemudian lupa bahwa perjalanan masih panjang. Tetaplah melangkah, tetaplah berjuang, karena kemenangan sejati bukan hanya di akhir Ramadan, tetapi di saat kita bertemu Allah ﷻ dalam keadaan husnul khatimah.
Sumber tulisan diambil dari kajian, ”Setelah Idul Fitri Lalu Apa? - Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A.” – dengan tambahan dari Unit Publikasi SRB Official.
Youtube Terbaru





Artikel Terbaru




