Idulfitri Bukan Sekadar Euforia!
Idulfitri Bukan Sekadar Euforia!
  

Banyak orang merayakan Idulfitri sebagai sekadar tradisi tahunan, berpakaian baru, menyajikan hidangan khas dan berkumpul bersama keluarga. Hampir semua merayakan bahkan bagi mereka yang tidak menjalankan ibadah puasa Ramadan tetap larut dalam euforia Idulfitri. Namun, apakah sebenarnya Idulfitri hanya sebatas itu? Apakah kita benar-benar memahami makna di baliknya atau hanya mengikuti kebiasaan yang diwariskan turun-temurun?

 

Idulfitri berasal dari dua kata dalam bahasa Arab, yaitu ‘Ied (عيد) dan al-Fitr (الفطر).

 

Kata ‘Ied secara bahasa berasal dari kata ‘aada – ya’uudu (عاد – يعود), yang berarti kembali.

Hari raya disebut ‘Ied karena terjadi secara berulang-ulang dan selalu jatuh pada waktu yang sama, yaitu tanggal 1 Syawal setiap tahunnya.

 

Sedangkan kata al-Fitr berasal dari kata afthara – yufthiru (أفطر – يفطر), yang berarti berbuka atau tidak lagi berpuasa.

 

Dengan demikian, Idulfitri adalah hari di mana kita kembali berbuka setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Bahkan, pada hari ini, berpuasa diharamkan karena ini adalah hari yang ditetapkan untuk berbuka dan merayakan kemenangan setelah melewati Ramadan.

 

Maka, Idulfitri bukan sekadar tradisi atau budaya yang diwariskan turun-temurun, melainkan bagian dari agama Islam. Allah telah mengatur tentang Idulfitri sebagaimana Dia mengatur aspek lain dalam kehidupan seorang muslim. Dalam Islam, segala sesuatu memiliki aturan yang jelas, baik dalam urusan rumah tangga, muamalah, kebersihan, politik, perkara dunia maupun akhirat. Semuanya telah diatur dalam syariat.

Oleh karena itu, seorang muslim harus memahami aturan yang telah Allah tetapkan, termasuk dalam merayakan Idulfitri. Jangan sampai kita hanya ikut-ikutan merayakan tanpa mengetahui ilmu dan tuntunan yang benar dalam Islam.

 

Ibarat sebuah lembaga atau perusahaan yang maju, itu terjadi karena para pekerjanya memahami aturan dan tanggung jawabnya. Mereka tahu apa yang harus dilakukan, kapan harus bekerja, dan bagaimana menjalankan tugas dengan baik. Sayangnya, banyak Muslim yang belum memahami apa yang seharusnya mereka lakukan dalam menjalankan agama. Mereka hanya ikut-ikutan tanpa memahami aturan yang telah Allah  tetapkan.

 

Allah  telah mensyariatkan puasa Ramadan sebagai kewajiban, dan saat ini, puasa itu masih berlangsung. Kita belum berada di hari Idulfitri. Namun, sebagian orang justru "melompat" langsung ke perayaan Idulfitri. Jika kita melihat ke pasar atau pusat kota, suasananya sudah begitu ramai, banyak orang berbelanja, membeli baju baru dan mempersiapkan pakaian untuk istri serta anak-anak mereka. Seolah-olah mereka sudah melupakan bahwa Ramadan masih berlangsung dan Idulfitri belum tiba.

 

Ada sebuah ungkapan yang begitu dalam maknanya,

 

"ليس العيد لمن لبس الجديد ولكن العيد لمن تقواه يزيد"

"Hari raya bukanlan bagi orang yang memakai pakaian baru, tetapi hari raya adalah bagi orang yang bertambah ketakwaannya."

(Lathaiful Ma`arif, Ibnu Rajab Al-Hambali hlm. 483)

 

Jika Idulfitri hanya soal pakaian baru, bukankah kita bisa membelinya kapan saja tanpa menunggu hari raya?

  


Lalu, apakah itu berarti kita sedang merayakan Idulfitri setiap kali mengenakan sesuatu yang baru? Tentu tidak.

 

Hakikat Idulfitri bukan terletak pada apa yang kita kenakan, tetapi pada perubahan hati yang kita rasakan. Setelah sebulan ditempa oleh Ramadan, Idulfitri seharusnya menjadi momen kemenangan atas hawa nafsu, waktu di mana ketakwaan kita bertambah dan hati kita kembali bersih. Kadang kita melihat orang rela antre berjam-jam hanya untuk berbelanja, mencari diskon besar-besaran atau sekadar memangkas rambut agar tampil lebih segar di hari raya. Tak jarang, suasana rumah pun ikut dirombak, tembok dicat ulang, pagar dipercantik, gorden diganti, sofa baru didatangkan. Semua demi menyambut Idulfitri dengan sesuatu yang baru.

Namun, apakah benar itu makna Idulfitri yang sesungguhnya? Bukan itu!

 

Idulfitri itu bukan hanya tampilan luar yang diperbarui, tetapi yang ada di dalam diri kita, hati dan ketakwaan.


 
 

Idul Fitri bukan untuk mereka yang hanya mengganti perabot rumah, tetapi untuk mereka yang memperbarui iman dan ketakwaannya. Rasulullah bersabda,

 

"إنَّ ‌الإيمان ‌لَيَخلَقُ ‌في ‌جوف ‌أحدِكم كما يَخلَقُ الثوبُ الخَلَقُ، فَسَلُوا اللهَ أن يجدِّدَ الإيمانَ في قلوبكم" "Sesungguhnya iman itu bisa menua di diri salah seorang di antara kalian sebagaimana tuanya pakaian. Maka mintalah agar Allah memperbarui keimanan dalam hati-hati kalian." (HR Hakim no. 5)

 

Seperti halnya pakaian yang lama-kelamaan memudar dan menjadi usang, iman pun bisa melemah jika tidak diperbarui. Maka, inilah momen untuk memperbaharui keimanan, menguatkan kembali hubungan kita dengan Allah , dan menjadikan Idulfitri sebagai titik balik untuk menjadi pribadi yang lebih bertakwa.

 

Jangan sampai kita hanya sibuk mengganti pakaian, tetapi lupa memperbarui hati.

Jangan sampai kita hanya mempercantik rumah, tetapi lupa membersihkan jiwa.

 


Karena sejatinya, Idulfitri adalah untuk mereka yang hatinya kembali bersih, bukan sekadar yang tampilannya lebih indah.

 

Bayangkan seseorang yang gagal dalam ujian PNS, gagal masuk polisi atau tidak lulus dalam ujian penting lainnya. Apakah kita akan datang ke rumahnya dan mengucapkan selamat? Tentu tidak! Justru itu bisa dianggap sebagai sesuatu yang menyakitkan, bahkan bisa membuatnya marah atau kecewa.

 

Lalu, bagaimana dengan Idulfitri?

Ada orang yang selama Ramadan tidak berpuasa, tidak shalat Tarawih, bahkan tidak berusaha mendekat kepada Allah . Tetapi begitu Idulfitri tiba, orang-orang justru datang mengucapkan "Selamat Idulfitri".  Seharusnya bukan selamat, tetapi belasungkawa!

 

Karena ia telah melewatkan momen emas yang tidak bisa dijamin akan datang lagi pada tahun berikutnya. Ramadan adalah bulan penuh berkah, bulan di mana setiap detik begitu berharga untuk menanam pahala dan meraih ampunan. Mereka yang tidak memanfaatkannya telah kehilangan kesempatan besar, kesempatan yang mungkin tidak akan mereka dapatkan lagi!

 

Maka, jangan sampai kita menjadi bagian dari orang-orang yang merayakan Idulfitri dengan kosong, tanpa bekal ibadah, tanpa ketakwaan yang bertambah. Jangan sampai kita merayakan kemenangan, padahal kita tidak ikut berjuang.

 

Karena Idulfitri sejati adalah bagi mereka yang telah berusaha, yang telah melewati Ramadan dengan ketaatan dan yang benar-benar kembali kepada Allah dalam keadaan bersih. Merekalah yang layak mendapat ucapan "Selamat Hari Raya!"

 

 

Diambil dari kajian, ”Idulfitri yang Istimewa - Ustadz Syafiq Riza Basalamah, M.A.”