Ada sebuah fenomena yang belakangan ditemukan di masyarakat, seseorang yang belajar agama hingga terlihat dari penampilannya, tetapi perilaku dan etikanya sama sekali tidak mencerminkan hal tersebut. Di sisi lain, seseorang yang terlihat biasa saja, justru lebih memiliki sopan santun dan akhlak yang baik. Sehingga muncul anggapan bahwa akidah seseorang tidak memiliki hubungan dengan akhlaknya. Namun, ini adalah sebuah pandangan yang keliru.
Manusia sejatinya memiliki fitrah baik dalam dirinya. Akan tetapi, jika kebaikan tersebut tidak dilandasi dengan iman, maka kebaikan tersebut hanya sebuah kepura-puraan dan ada sesuatu yang diharapkan dari dunia, seperti mengharap pujian dari orang lain, misalnya. Berbeda dengan seseorang yang beriman, apabila ia memperbaiki perilakunya, hal tersebut didasari karena akidah yang kuat.
"Jika kita menemukan seseorang yang sudah berpenampilan syar’i, tetapi akhlaknya buruk, maka bisa dipastikan bahwa di balik penampilannya itu ada iman yang lemah."
Karena Rasulullah ﷺ bersabda,
أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR Tirmidzi no. 1162)
Akidah yang kuat akan tampak pada perilaku dan sikap. Karena semua hal dan amalan itu bermula dari hati. Rasulullah ﷺ pernah berkata,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR Muslim no. 2564)
Perlu dipahami bahwa ketika memutuskan untuk berhijrah dan memperdalam ilmu agama, apa yang dipelajari itu haruslah tampak pada sikap dan perilaku, karena hal tersebut adalah konsekuensi hijrah yang didasari karena ikhlas lillahi ta’ala. Selain ikhlas, orang yang memutuskan untuk berhijrah juga harus memiliki kesabaran. Karena Allah ﷻ pasti akan menguji untuk memperlihatkan kualitas hatinya. Apakah orang tersebut berhijrah karena Allah ta’ala atau justru karena hal lain. Sehingga akan tampak siapa yang benar-benar beriman dan yang hanya berpura-pura, seperti dalam firman-Nya,
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS Al-Ankabut:2)
Ukuran seseorang dinilai baik bukan hanya dilihat dari bagaimana ibadah dan amalannya (yang tampak), tetapi dapat dilihat dari bagaimana kehidupan sehari-harinya, bagaimana ia dalam bermuamalah, dan bagaimana sikapnya ketika safar (perjalanan).
Membahas mengenai hijrah, ada yang dinamakan dengan hijrah hati dan hijrah fisik. Namun, semuanya pasti dimulai dari hati. Ketika Rasulullah ﷺ berbicara mengenai keimanan, sabda beliau,
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ
“Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama yaitu perkataan Lâ ilâha illallâh, dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu termasuk bagian dari iman.” (HR Bukhari dan Muslim)
Kalimat ‘Laa Ilaha illallah’ dalam hadis tersebut bermakna bahwa kalimat tahlil bukan hanya untuk diucapkan secara lisan, tetapi juga ditanamkan dalam hati dan kita dituntut untuk mengamalkan kalimat tersebut. Betapa banyak orang-orang yang berulang kali melafadzkan ‘Laa ilaha illallah’ namun tidak mengerti syarat dan rukunnya. Sehingga tidak heran ketika ditemukan seseorang yang lisannya mengucapkan tahlil, tetapi masih melakukan kesyirikan.
Rasulullah ﷺ diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia. Sebagai umatnya, jangan sampai kita membuat orang lain berpandangan buruk tentang Islam karena melihat perilaku kita.
“Dan cara menyempurnakan akhlak adalah dengan memperbaiki akidah.”
Suatu ketika Rasulullah ﷺ ditanya tentang dua hal; ‘Siapa manusia yang paling dicintai Allah?’ dan ‘Apa amalan yang paling dicintai Allah?’. Beliau ﷺ bersabda,
“Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat untuk orang lain. Dan amalan yang paling dicintai adalah kegembiraan yang engkau berikan kepada saudara muslim.”
Setelah perilaku, yang juga tidak kalah penting adalah untuk menjaga lisan. Akhir-akhir ini, banyak sekali hoax yang beredar dan tanpa sadar kita justru menjadi oknum yang ikut-ikutan menyebarkannya. Banyak sekali orang yang dengan mudah mengeluarkan kata-kata kasar dan komentar-komentar yang buruk, hanya untuk bahan pelampiasan emosinya. Padahal Rasulullah ﷺ dengan jelas mengatakan,
مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَو لِيَصْمُتْ
”Barangsiapa yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir maka hendaknya dia berbicara yang baik atau (kalau tidak bisa hendaknya) dia diam.” (HR Bukhari dan Muslim)
“Salah satu tanda keimanan yang kuat adalah lisan yang terjaga. Karena yang paling banyak menjadi penyebab seseorang dimasukkan ke neraka adalah karena lisannya.”
Permisalan dari akidah yang baik adalah seperti pohon kurma yang berbuah. Semakin kuat akidahnya, semakin menghujam dan kokoh akarnya, maka semakin bermanfaat seseorang itu bagi orang lain. Dalam hadis yang lain, Rasulullah ﷺ mengibaratkan seorang mukmin seperti lebah yang senantiasa hinggap di tempat yang bersih dan baik. Serta senantiasa mengambil yang paling baik tanpa merusaknya.
Dalam mempercantik akhlak, ketika seorang mukmin telah berpenampilan sesuai dengan sunnah, hal pertama yang perlu dilakukan adalah berdoa dan memohon kepada Allah ﷻ agar Allah ﷻ memperbaiki akhlak kita, yaitu dengan mengucapkan,
اَللّٰهُمَّ كَمَا حَسَّـنْتَ خَلْقِـيْ فَحَسِّـنْ خُلُقِـيْ
“Ya Tuhanku, sebagaimana telah Kau baguskan rupaku, maka baguskanlah perangaiku.”
Selanjutnya adalah perlu melatih diri. Membiasakan untuk beramal baik secara terus-menerus tanpa berhenti. Sehingga yang awalnya merasa berat, lama kelamaan akan menjadi ringan. Misalnya, seseorang yang memiliki sifat pelit perlu memaksakan dirinya untuk bersedekah, sebab keimanan dan sifat kikir tidak dapat berjalan beriringan.
Kita juga perlu memerhatikan teman kita. Karena kebiasaan orang lain akan memengaruhi bagaimana seseorang bersikap. Selanjutnya, yaitu mencari lingkungan yang baik. Sebab dari suatu lingkungan itu seseorang terbentuk.
Hal terakhir yang perlu dilakukan adalah introspeksi diri. Salah satu cara untuk mengetahui kekurangan diri adalah dengan mendatangi seorang ustadz atau guru yang memang memahami soal tabiat buruk manusia dan meminta nasihat. Sama seperti yang dilakukan oleh salah seorang sahabat yang datang kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk meminta nasihat, kemudian Rasulullah berkata “"لاَ تَغْضَبْ” (Jangan marah). Sebab Rasul tahu, bahwa permasalahan sahabat tersebut adalah sulit menahan amarah.
Dalam memilih teman pun hendaknya berhati-hati.
“Manusia kebanyakan lebih menyukai teman yang sering memberikan pujian. Namun, teman atau sahabat yang sebenarnya diperlukan adalah yang mampu menegur ketika salah dan memberikan nasihat.”
Teman seperti ini lah yang perlu dijaga dengan baik. Meskipun realitanya sangat sulit untuk menemukan teman yang demikian.
Sehingga apabila tidak kunjung menemukan guru atau teman yang dapat membantu selama proses hijrah, hal terakhir yang bisa dimanfaatkan adalah kritik-kritik dari orang yang mungkin tidak menyukai kita. Gunakan hal tersebut untuk mengevaluasi diri dan membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
(Sumber tulisan diambil dari ceramah: Hijrah Bukan Hanya Penampilan - Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A., di Batam. Sabtu, 16 Rajab 1440 H/23 Maret 2019)