Jalan Panjang dan Berat itu Bernama Hijrah
Jalan Panjang dan Berat itu Bernama Hijrah

            Dalam beberapa tahun terakhir, kata ‘hijrah’ menjadi kata yang populer dan digunakan oleh banyak orang, baik secara kelompok maupun individu. Terutama bagi mereka yang ingin menjadi pribadi yang lebih baik

            Hijrah itu sendiri memiliki berbagai macam bentuk, ada yang berhijrah untuk mencari rezeki, ada pula yang hijrah untuk menuntut ilmu, ada yang hijrah karena sebab mencari keamanan dan ada yang berhijrah untuk menyelamatkan keimanannya. Makna dari kata hijrah adalah berpindah. Maka cara membedakan hijrah seseorang adalah dengan niatnya.

            Hijrah yang paling agung adalah hijrahnya para Nabi, utusan-utusan Allah ﷻ dan semua yang berada di jalan yang sama. Mereka adalah orang-orang yang mengimani Allah ﷻ sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan mereka beriman bahwa Nabi Muhammad ﷺ sebagai utusan Allah ﷻ dan Nabi mereka. Hijrahnya seseorang menuju Allah ﷻ mampu membuatnya meninggalkan rumah dan pekerjaannya, bahkan berpisah dari keluarganya demi menempuh perjalanan yang penuh ketidakpastian apakah ia akan gagal di tengah-tengah perjalanan itu. Namun karena cintanya yang begitu besar kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya, sehingga tidak menghentikannya dari hijrah mencari kebenaran. Allah berfirman dalam Qur’an surah Ali-Imran ayat 31,

 

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu,’ Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

 

Orang-orang yang berhijrah karena Allah adalah mereka yang hijrah bukan untuk mendapatkan kesenangan dunia, bukan pula karena untuk menikahi wanita, tetapi semata-mata untuk menyelamatkan aqidahnya. Dan inilah iman yang sebenar-benarnya. Sebab seorang mukmin tidak akan dikatakan beriman hingga ia mencintai Allah ﷻ dan Rasul melebihi apapun di dunia ini, bahkan pada dirinya sendiri.

            Hijrah bukan sekedar berpindahnya fisik atau berubahnya penampilan. Mungkin setelah berhijrah seseorang menjadi lebih tertutup auratnya dan mulai memperbaiki tutur katanya. Namun hijrah itu lebih dari semua itu.

 

“Esensi dari hijrah adalah hijrahnya hati. Yang semula hanya berambisi pada kemewahan dunia, menjadi hanya akhirat sebagai tujuan.”

 

Yang awalnya terlalu diperbudak oleh harta dan jabatannya, menjadi Allah ﷻ satu-satunya yang berada dalam hati. Seperti yang dicontohkan oleh nabi Ibrahim ‘alaihissalam dalam firman Allah,

 

فَـَٔامَنَ لَهُۥ لُوطٌ ۘ وَقَالَ إِنِّى مُهَاجِرٌ إِلَىٰ رَبِّىٓ ۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ

“Maka Luth membenarkan (kenabian Ibrahim). Dan dia (Ibrahim) berkata, ‘Sesungguhnya aku harus berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku; sungguh, Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.’” (QS Al-Ankabut: 26)

 

Perjalanan menuju Allah ﷻ adalah perjalanan yang memerlukan perjuangan. Rasulullah ﷺ mengatakan tentang seseorang yang bisa dikatakan hijrah,

“Orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan larangan-larangan Allah.”

            Iblis selalu membisikkan manusia agar terjerumus ke dalam hal-hal yang di larang Allah, ia akan menggambarkan hal yang buruk menjadi terlihat baik dan sebaliknya. Seakan-akan larangan Allah ﷻ adalah sesuatu yang indah. Seperti yang dilakukan iblis kepada Nabi Adam ‘alaihissalam yang membuatnya diturunkan dari surga bersama istrinya. Hikmah dari peristiwa tersebut adalah jika ingin kembali ke dalam surga, yang perlu dilakukan adalah meninggalkan larangan-Nya.

            Belajar dalam meninggalkan larangan-larangan Allah ﷻ amat diperlukan ketika seseorang telah memutuskan untuk berhijrah.

 

“Setelah menghijrahkan hati, belajar adalah sebuah keharusan untuk mengetahui mana saja hal-hal yang dilarang Allah ﷻ. Sehingga di dalam Islam, menuntut ilmu adalah hal yang lazim dilakukan oleh mereka yang berhijrah. Karena jika tidak, maka mereka tidak akan mampu mendapatkan esensi dari hijrah itu sendiri.”

 

            Kalimat syahadat adalah kunci untuk membuka pintu surga, tetapi kunci tersebut memiliki gerigi yang merupakan ajaran-ajaran Islam. Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada para sahabat untuk mengajarkan Umair bin Wahab yang saat itu baru bersyahadat untuk diajarkan tentang Islam dan Al-Qur’an. Setelah beberapa lama menetap di Madinah, Umair yang sebelumnya datang dengan niat membunuh Nabi Muhammad ﷺ justru kembali ke Mekkah dan menyeru kepada penduduknya untuk menyembah Allah ﷻ.

            Esensi hijrah sejatinya bukan hanya meninggalkan larangan-larangan Allah dan memahami ajaran agama Islam, tetapi juga mampu mengajak orang lain kepada Allah ﷻ. Dibutuhkan keyakinan yang kuat dalam berhijrah agar kita tidak kembali terjerumus ke dalam hal yang sama. Keimanan yang kokoh tidak akan membuat seseorang goyah apapun ujian dan musibah yang dihadapi. Keimanan merupakan sesuatu yang menancap di dalam hati sehingga dapat terlihat pada fisik dan perbuatan.

             Perjalanan hijrah adalah perjalanan yang panjang, maka diperlukan bekal, navigasi dan kendaraan yang tepat untuk sampai ke tujuan. Sebaik-baik bekalnya bukanlah harta, melainkan ilmu agama yang diwariskan oleh para Nabi. Kemudian sebaik-baik jalan yang harus dilalui adalah sabar dan bersungguh-sungguh, serta kendarannya adalah berserah diri kepada Allah ﷻ.

Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa hati manusia berada di antara jemari Allah ﷻ. Merupakan suatu perkara yang mudah bagi Allah untuk membolak-balikannya. Sehingga orang yang berhijrah, harus senantiasa bermunajat dan yakin bahwa tidak ada keselamatan melainkan berasal dari pertolongan Allah ﷻ. Itulah sebabnya, Rasulullah ﷺ selalu berdoa,

 

يَا مُقَلِّبَ القُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“Wahai Yang Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku senantiasa di atas agama-Mu”

 

Kita tentu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Rasulullah ﷺ yang telah dijamin keimanannya, maka sebagai manusia biasa yang tentu banyak khilafnya, penting bagi kita untuk selalu melafalkan doa tersebut agar Allah ﷻ senantiasa menjaga hati kita tetap dalam kebenaran hingga akhir hayat.

Pada akhirnya, Allah ﷻ akan memberikan kemudahan dalam proses hijrahnya seseorang, serta memberikan hasil yang manis di ujung perjalanannya. Seperti dalam firman-Nya yang berbunyi,

 

وَمَن يُهَاجِرْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدْ فِى ٱلْأَرْضِ مُرَٰغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَن يَخْرُجْ مِنۢ بَيْتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدْرِكْهُ ٱلْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Dan barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum smapai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS An-Nisa: 100)

 

Jika kita telah meniatkan hijrah hanya karena Allah semata, maka Allah ﷻ akan menghadirkan solusi atas permasalahan yang dihadapi, juga kemudahan-kemudahan baik dalam urusan ibadah, agama, bahkan urusan dunia. Itu semua merupakan janji Allah ﷻ yang pasti. Namun semua hal itu perlu waktu, tidak serta merta hadir begitu saja.  

            Maka berangkatlah untuk berhijrah kepada Allah ﷻ dengan mengikuti apa yang telah diperintahkan, kepada kitab suci yang diturunkan-Nya, serta kepada sunnah-sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.

Mungkin saja kita mati sebelum sampai ke tujuan. Namun, yang paling penting adalah kita mati di atas jalan kebenaran dan jangan pernah mundur. Meskipun lambat, tetapi tujuan kita kepada Allah ﷻ.

 

(Sumber tulisan diambil dari kajian: Esensi Hijrah - Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A., Senin, 16 Sya’ban 1442 H/29 Maret 2021)