Merangkul Mereka yang Baru Hijrah
Merangkul Mereka yang Baru Hijrah

Sering kali kita mendapati fenomena dalam majelis ilmu, ketika ada seseorang yang baru saja memulai hijrahnya datang dengan penampilan yang belum sempurna, seperti perempuan yang mungkin belum sepenuhnya menutup aurat atau laki-laki yang masih terlihat berpenampilan 'metal'. Alih-alih disambut dengan hangat, mereka justru kerap dipandang rendah oleh sebagian orang yang merasa sudah lama berhijrah. Akibatnya, niat mereka untuk berubah malah menjadi pudar. Padahal, mereka datang dengan harapan mendapat ilmu dan petunjuk untuk memperbaiki diri.

Sesungguhnya Allah amat mencintai hamba-Nya yang bertaubat dan kembali kepada-Nya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah menggambarkan kegembiraan Allah atas taubat hamba-Nya itu bahkan melebihi kegembiraan seseorang yang menemukan kembali untanya yang hilang di tengah padang pasir, di mana seluruh bekal dan airnya ada di atas unta tersebut.

Rasulullah bersabda,

 

اللَّهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ سَقَطَ عَلَى بَعِيرِهِ ، وَقَدْ أَضَلَّهُ فِى أَرْضِ فَلاَةٍ

“Sesungguhnya Allah itu begitu bergembira dengan taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian yang menemukan kembali untanya yang telah hilang di suatu tanah yang luas (padang pasir –pen).”

(HR Bukhari no. 6309 dan Muslim no. 2747)

 

Betapa seharusnya kita juga merasa bahagia ketika melihat saudara kita ingin hijrah, meski mungkin mereka belum sempurna dalam berpenampilan atau masih dalam proses belajar.

Apakah mereka yang sudah lama hijrah itu salah dengan tindakan yang terkesan sombong atau congkak dalam menyambut orang yang baru hijrah? Bisa jadi mereka sebenarnya tidak sombong tetapi kurangnya ilmu atau pengetahuan tentang bagaimana menyambut orang yang baru hijrah, dengan adab baik yang telah diajarkan oleh Rasulullah .

Ada kisah pada masa lalu, yang kala itu jilbab belum banyak diterima dalam masyarakat. Sekitar tahun 1980-an hingga 1990-an, gerakan berjilbab sempat mendapatkan tantangan besar. Banyak siswi SMA yang dilarang memakai jilbab, bahkan ada yang harus dikeluarkan dari sekolah karenanya. Saat itu, seorang ustadz sedang berceramah di sebuah masjid. Di tengah kajian,


datang seorang perempuan yang berpakaian terbuka dan bertanya tentang hukum jilbab, “Ustadz, apa hukumnya memakai jilbab?”


Lalu, ustadz menjawab dengan bijaksana, bahwa pelajaran jilbab berada di pelajaran nomor 27. Ustadz tersebut justru menjelaskan tentang memperkuat keimanan dan tauhid terlebih dahulu kepada perempuan tersebut. Karena ketika iman seseorang sudah kuat, maka perubahan akan mengikuti, bahkan tanpa disuruh sekalipun untuk memakai jilbab, perempuan tersebut telah memakai dulu.

Allah berfirman tentang pentingnya ilmu tauhid ini,

 
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan dahannya (menjulang) ke langit,”

 

تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”

(QS Ibrahim: 24-25)

 

Tafsir {كَلِمَةً طَيِّبَةً} =  “kalimat yang baik”, pakar tafsir dari kalangan sahabat, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan dengan شهادة أن لا إله إلا الله atau “Syahadat La ilaha illallah” yakni tentang ketauhidan.

Dalam proses ini, kita tidak perlu buru-buru menilai seseorang hanya dari penampilannya. Ada baiknya kita mencontoh cara Rasulullah dalam membimbing sahabatnya. Beliau senantiasa mengutamakan pendekatan dengan penuh kasih sayang, menyambut mereka yang baru dalam Islam dengan hangat, sehingga mereka merasa diterima. Nabi bahkan pernah memberikan hadiah kepada beberapa sahabat yang baru masuk Islam, meskipun beliau lebih menyayangi sahabat-sahabat yang telah lama bersamanya. Hal ini menunjukkan pentingnya merangkul mereka yang baru, agar kehadiran mereka semakin kokoh di jalan kebenaran.

Selain itu, adab dalam majelis juga perlu diperhatikan. Sebagai contoh, ketika kita bertemu dengan seseorang yang mungkin baru berhijrah, akan lebih baik jika kita menyapanya dengan salam,


"Assalamualaikum, 

ahlan wasahlan, 

dari mana asalnya?"


Tindakan sederhana seperti ini bisa memberikan kesan positif bagi mereka yang mungkin belum tahu banyak tentang lingkungan majelis.

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa seorang mukmin yang sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya. Maka, sebagai seorang mukmin yang menginginkan iman yang kuat, menyambut dan menghormati saudara kita adalah bagian dari kesempurnaan akhlak itu.

Jadikan mereka yang baru hijrah nyaman dengan sambutan hangat dari kita yang sudah lama datang di majelis ilmu. Maka seorang ustadz ada baiknya, sebelum memulai kajian, menyampaikan kepada jamaahnya apakah sudah berkenalan dengan orang-orang yang terdekat yang ada di majlis itu. Karena sejatinya mereka itu saudara kita. Rasulullah bersabda,

 

اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ الْـمُسْلِمِ

“Seorang muslim adalah saudara orang muslim lainnya.”

(HR Bukhari no. 2442 dan 6951)

 

Di sinilah pentingnya belajar adab sebelum ilmu. Sebab, ilmu yang tinggi tanpa adab yang baik bisa jadi malah menimbulkan keangkuhan. Maka, kita perlu menjadikan setiap majelis ilmu sebagai tempat yang nyaman dan ramah, terutama bagi mereka yang masih belajar dan berproses dalam hijrahnya. Dengan begitu, semoga mereka merasa diterima dan semakin semangat untuk berubah menuju kebaikan.

 


 (Sumber tulisan diambil dan diringkas pada acara talkshow: Gak Jadi Hijrah Gara-Gara Dihujat - Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. di Studio SRB, Jember. Senin, 26 Rabiul Awwal 1446 H / 30 September 2024)