Ibadah yang seringkali dilupakan seorang hamba atau tak jarang hanya ucapan belaka adalah syukur. Padahal lisan yang berzikir hamdalah harus mengiringi pengikrarannya bahwa tiada yang layak dipuji atau disematkan pujian kecuali hanya Dia. Dan hati pun harus turut mengakui bahwa syukurnya tidak boleh berhenti, karena amaliah seorang hamba tidaklah tegak kecuali dengan pertolongan-Nya.
Hakikat Yang Tak Sama
Pujian terkadang juga dilayangkan kepada makhluk. Namun tentu saja hakikat pujian tersebut berbeda ketika seorang hamba haturkan kepada Allah azza wajalla. Syekh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullahu mengatakan,
“Pujian atau al Hamd adalah menyifati Dzat yang dipuji dengan kesempurnaan disertai dengan rasa takzim dan cinta.” (Tafsir Surat al Fatihah 30)
Oleh karenanya, pujian atau al hamd ini hanya untuk Allah semata dan bukan selain-Nya.
Kenapa Harus Memuji
Sebagian orang mungkin bertanya, kenapa harus memuji? Jika tujuannya untuk menguatkan keimanan, maka ini hal baik. Jika untuk mempertanyakan pensyariatan, maka hal demikian tidak bisa dibiarkan. Syekh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullahu menyebutkan alasannya (kurang lebih),
Kesempurnaan Dzat Allah, yang dengannya memang Dia semata yang berhak mendapatkan pujian al hamd dari seorang hamba. Kesempurnaan seluruh nama dan sifat Allah berada di puncak kesempurnaan. Dia lah yang maha berkuasa, yang kekuasaannya tidak diiringi dengan kelemahan. Dia lah yang maha hidup, yang tidak diawali kelahiran dan tidak diakhiri kematian. Dia lah Allah, Dzat yang sangat patut tersemat kepada-Nya seluruh pujian.
Nikmat yang terus dialirkan kepada makhluk-Nya memiliki konsekuensi berhaknya Dzat pemberi nikmat mendapat pujian tak henti dari makhluk-Nya.
Terpujinya Allah, tidak sekedar karena nikmat-Nya yang sampai kepada kita, melainkan juga Dzatnya yang kemuliaan-Nya tidak terbatas.
Tak Seharusnya Dimaksiati
Jika seorang mendapati atasan yang sangat baik, patutkah seandainya ia sebagai bawahan membangkang?! Semua sepakat tidak. Maka bagaimana mungkin, Rabbnya azza wajalla yang sempurna dari segala sisi, baik Dzat maupun sifat-Nya, berani ia maksiati?!
Seorang penyair pernah membawakan untaian yang bermakna,
“Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin Allah, yang maha sempurna, dimaksiati?! Sungguh mengerankan, bagaimana mungkin ada makhluk yang berani mengingkari-Nya?! Padahal Ia memiliki tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Dia lah Dzat satu-satunya yang harus dan wajib diibadahi.”
Disusun & Dipublikasikan Oleh Tim Ilmiah Elfadis
Selasa, 7 Safar 1442 H / 14 September 2021
Follow dan support akun kami :
🌏 Web : https://lorongfaradisa.or.id/
: http://www.syafiqrizabasalamah.net/
🖥 Youtube : https://www.youtube.com/LorongFaradisa
🌐 Telegram : https://t.me/lorongfaradisaofficial
📱 Instagram : https://www.instagram.com/elfadis__/
📘 Facebook : https://www.facebook.com/lorongfaradisa
___
Share agar lebih bermanfaat