Para suami hendaknya sadar bahwa wanita yang ia nikahi adalah seorang yang penuh dengan kekurangan seperti dirinya. Sebagaimana ia tidak menginginkan dibenci, maka begitu pula ia tidak sepantasnya membenci kekasih hatinya. Inilah yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama dalam sebuah hadits :
لا يفرك مؤمن مؤمنة, إن كره منها خلقا رضي منها اخر
“Tidak sepantasnya seorang suami membenci istrinya. Boleh jadi ada di diri istrinya karakter yang tak ia senangi, tapi senantiasa ingat bahwa ada pula banyak kebaikan dalam diri istrinya.”
(HR. Muslim 2672)
Manusia yang secara kodrat penuh kekurangan, maka menjadi tidak bijak jika seorang hanya melihat sisi negatif dari orang lain, terutama kepada istrinya. Karena apa yang ia temukan dari istrinya, ia temukan pula dalam dirinya. Jika dirasa istrinya pendendam, sebagai suami kita juga kadang berbuat demikian, senang sekali mengingat-ingat kesalahan satu dua yang dilakukan oleh istrinya. Tidakkah kita ingat bahwa hanya gara-gara nasi tidak matang, kita uring-uringan? Tidakkah kita kadang emosi kepada istri hanya gegara ia lupa menuangkan gula ke dalam teh yang diseduh? Lisan kita seringkali ringan mengucapkan kata cerai untuk istri yang tak ubahnya seperti diri kita, penuh dengan kekurangan.
Hal yang paling diperlukan oleh suami adalah sikap bijaksana. Tidaklah hal tersebut diperoleh kecuali setelah meminta langsung kepada Allah azza wajalla, sebagaimana dalam firman-Nya :
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
(Al Baqarah : 269)
Dan manusia yang paling bijaksana dalam menyikapi keunikan sifat wanita adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama. Pernah kita dengar bersama, bagaimana Rasulullah menangani kecemburuan Aisyah karena hantaran makanan dari istri yang lain. Apakah Rasulullah langsung menghakimi Aisyah? Apakah Rasulullah begitu saja mengatakan Aisyah telah mencoreng kehormatan beliau di hadapan para tamu? Tentu saja Rasulullah jauh dari anggapan demikian. Beliau mampu menyelesaikan pelik tersebut tanpa harus merasa tinggi di hadapan keunikan istri beliau.
Jika manusia menginginkan teladan, maka Rasulullah adalah sosok terbaik untuk menjadi teladan. Bagaimana Rasulullah bermuamalah dengan para istri dan keluarganya, memberikan gambaran tegas bahwa tidak perlu menjadi sosok angker untuk tetap berwibawa. Beliau memberikan pelajaran, bahwa bijaksana itu perlu dan harus dipertahankan oleh setiap kepala rumah tangga.