(Dr. Shalih bin Abdullah al Ushaimy hafidzahullahu) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda : يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّهَا كَانَتۡ أُبِينَتۡ لِي لَيۡلَةُ الۡقَدۡرِ وَإِنِّي خَرَجۡتُ لِأُخۡبِرَكُمۡ بِهَا. فَجَاءَ رَجُلَانِ يَحۡتَقَّانِ مَعَهُمَا الشَّيۡطَانُ، فَنُسِّيتُهَا، فَالۡتَمِسُوهَا فِي الۡعَشۡرِ الۡأَوَاخِرِ مِنۡ رَمَضَانَ: الۡتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ، وَالسَّابِعَةِ، وَالۡخَامِسَةِ “Wahai sekalian manusia, sebenarnya sudah dikabarkan kepadaku tentang berita Lailatul Qadr. Tatkala aku keluar rumah untuk meneruskan kabar tersebut, aku mendapati dua orang saling bertikai, dan akibat pertikaian tersebut Syaithan membuatku lupa tentang berita tersebut. Hendaknya kalian berupaya di 10 hari terakhir bulan Ramadhan atau di malam ke 29, 27, dan 25.” Ada dua orang yang bertikai (berbuat keburukan), hal tersebut menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama terlupakan padahal beliau tidak terjatuh ke dalam kesalahan tersebut, maka bagaimana keadaan orang-orang yang mereka terjatuh ke dalam kemaksiatan dengan sendirinya? Terlebih efeknya ke perkara ilmu, iman, penerimaan terhadap ketetapan Allah, kesemua ini akan diharamkan bagi mereka yang terjatuh ke dalam kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, sering kita temui kisah para pendahulu kita yang lebih suka menyendiri dibandingkan bersama manusia. Hal itu mereka tujukan agar tidak terlalu banyak bercengkrama yang buruk dan menyebabkan tertutupnya hati, bahkan merusaknya. Maka sangat dianjurkan kita menyendiri dengan menyibukkan diri dengan ilmu, memahaminya, meembaca Al Qur’an, dan ilmu-ilmu syar’i lain, jika dengan membersamai manusia hanya akan melahirkan hal-hal buruk yang justru menjadikan ilmu yang ada padanya berguguran. Lihatlah berapa banyak dari kita yang menyibukkan diri di majelis-majelis atau perkumpulan yang tidak berfaidah, tapi tidak tersisa sedikitpun dari apa yang ia pelajari di hatinya? Tidak mengherankan, karena banyak dari kita hanya terfokus pada sebab-sebab yang terlihat seperti “Aku tidak punya kitabnya” atau “Ya memang aku belum hafal ini sih” atau “gurunya beda sih”. Mereka berpikir bahwa sebab mereka tidak mendapatkan ilmu hanya perkara ini semata dan mereka lupa akan sebab-sebab yang tidak terlihat. Tidakkah mereka tahu bahwa boleh jadi diharamkan ilmu atas mereka dengan sebab dosa yang mereka perbuat?! Tidakkah mereka sadar bahwa diharamkan ilmu atas mereka dengan sebab teman bergaul yang salah?! Maka hendaknya seorang pelajar senantiasa memperhatikan urusan batin jauh lebih banyak dibandingkan urusan lahiriahnya. Selayaknya ia lebih memperhatikan ruhiyahnya dalam upaya mendapatkan ilmu dibandingkan urusan jasmaninya. Ilmu tidak sekedar digapai dengan sebab-sebab lahiriah, ilmu adalah pemberian Allah untuk mereka yang dicintai-Nya. Ilmu yang berbuah amal dan dakwah tidak didapatkan kecuali dengan memperbaiki keadaan ruhiah seseorang dan bagaimana penerimaannya terhadap syariat Allah. Ilmu adalah warisan kenabian, sebagaimana kenabian adalah derajat yang langsung dipilih oleh Allah maka warisannya pun hanya diperuntukkan untuk orang-orang pilihan. Jika kita dapati seorang yang geram jika ada harta atau selainnya diberikan kepada selain yang berhak, maka Allah jauh lebih layak untuk cemburu bahwa Dia memberikan ilmu (wahyu) kepada orang-orang yang tidak layak. Seorang penuntut ilmu hendaknya memiliki perhatian terhadap hal ini. Menghiasi dii mereka dengan adab dan iman, bersemangat meningkatkan ruh keimanan dalam diri mereka, dan memenuhi hatinya dengan keimanan karena itulah substansi ilmu. Yang paling penting bukan seberapa banyak yang berhasil kau hafal, tapi sebeapa banyak Allah berikan taufik kepadamu untuk memahami apa yang engkau hafal, dan pemahaman ini tidak datang kecuali setelah seorang membersihkan hatinya. Allah azza wajalla berfirman : سَأَصۡرِفُ عَنۡ ءَايَٰتِيَ ٱلَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَإِن يَرَوۡاْ كُلَّ ءَايَةٖ لَّا يُؤۡمِنُواْ بِهَا وَإِن يَرَوۡاْ سَبِيلَ ٱلرُّشۡدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلٗا وَإِن يَرَوۡاْ سَبِيلَ ٱلۡغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلٗاۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَذَّبُواْ بَِٔايَٰتِنَا وَكَانُواْ عَنۡهَا غَٰفِلِينَ ١٤٦ “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.” Mereka dipalingkan dari ayat-ayat Allah dengan sebab takabbur atau angkuh. Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan : “Tatkala hati mereka penuh dengan kesombongan, maka Allah hinakan mereka dengan kebodohan.” Boleh jadi engkau terluput dari ilmu dengan sebab apa yang ada di hatimu. Imam Al Mawardiy pernah tatkala mengajar manusia terbersit di hatinya bahwa di antara sekian manusia ialah yang paling alim dalam madzhab Syafii. Sampai tatkala seorang hadirin wanita berkata kepadanya : “Wahai oang alim, bagaimana menurutmu tentang seorang wanita yang mengalami ini dan itu (tentang perkara haid).” Imam al Mawardy kembali mengisahkan : “Aku terkesiap, seolah aku belum pernah mendengar tentang masalah ini sama sekali sebelumnya. Tatkala aku terdiam lama, sebagian muridku berkata : bukankah engkau pernah menjelaskan demikian dan demikian jawabannya. Dengan demikian aku jadi teringat hal tersebut. Aku mengalihkan pandanganku ke perempuan tadi dan mendapati ia menimpali : Sungguh ia (murid tadi) lebih berhak menduduki kursi pengajar tersebut dibandingkan engkau.” Allah menegur sang Imam dengan peristiwa yang menakjubkan ini. Adapun kita, sudah selayaknya terus bersemangat memenuhi diri kita dengan nuansa imaniyah sampai kita dikaruniai manisnya iman dan ilmu. Hal-hal yang bersifat lahiriah seperti kedudukan adalah hal duniawi. Cukupkan diri kita dengan Allah semata, terima segala ketetapan Allah, niscaya Allah akan jadikan engkau lupa dari selain-Nya, inilah manisnya ilmu. Mereka yang Allah karuniai dengan kenikmatan seperti ini tidak akan bergeming dengan pandangan manusia. Dicela atau dipuji sama saja bagi mereka. Inilah keikhlasan yang sejati. Tidaklah karakter demikian tergapai kecuali setelah menjalani usaha yang tak sedikit, senantiasa berupaya menghadirkan ruh keimanan dalam proses menuntut ilmu, dan saling menasihati dalam kebaikan. Tidak akan mampu menggapainya kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah. Link : | Disusun & Dipublikasi oleh Tim Ilmiah Elfadis Tanggal : 02 Jumadal Akhir 1441 H ________________ Silahkan bergabung dan mendapatkan tulisan, audio, video serta jadwal kajian Ust. Dr. Syafiq Riza Basalamah di : Facebook : Syafiq Riza Basalamah Official / https://www.facebook.com/SyafiqRizaBa... Instagram : Syafiq Riza Basalamah Official Twitter : Syafiq Riza Basalamah Official @ustadzsyafiq Telegram : Syafiq Riza Basalamah Official / @SRB_Official Website : http://syafiqrizabasalamah.com/